BANYUMAS|Purbalinggatv.com, 12 Oktober 2025 — Duka mendalam menyelimuti negeri ini menyusul ambruknya bangunan sebuah pondok pesantren yang merenggut nyawa 67 santri. Namun, di balik awan kesedihan yang pekat, terkuaklah sebuah realitas pahit yang jauh melampaui sekadar bencana. Tragedi ini adalah cermin buram praktik yang mengabaikan standar keselamatan universal, dibungkus rapi dalam kain ketaatan spiritual, dan ironisnya, seolah diamini oleh masyarakat atas nama “rida”. Lebih dari sekadar musibah, insiden ini adalah pengkhianatan terhadap amanah suci pendidikan, sebuah tamparan keras bagi akal sehat dan nurani.
Reruntuhan bangunan pesantren itu bukan hanya menimbun jasad para santri, tetapi juga menyingkap narasi mencengangkan: para santri, yang tugas utamanya adalah menuntut ilmu, dipekerjakan sebagai buruh konstruksi tanpa keahlian memadai. Mereka adalah pelajar, bukan tenaga kerja kasar yang siap mempertaruhkan nyawa demi pembangunan fisik. Puncak ironi semakin menusuk ketika keluarga korban, dalam balutan kesalehan yang keliru, menolak santunan dengan dalih mencari “rida pemimpin pondok”. Ini bukan lagi tentang iman, melainkan tentang bagaimana keimanan telah dijadikan tameng untuk mengabaikan hak-hak dasar manusia, melumpuhkan logika, dan membenarkan kelalaian fatal.
Kesenjangan yang menyakitkan antara kemewahan pemimpin dan penderitaan santri semakin terbuka lebar. Publik dikejutkan dengan penemuan bangkai sebuah mobil Mercedes-Benz mewah berharga miliaran rupiah yang ikut tertimpa reruntuhan, diduga kuat milik pimpinan pondok. Disparitas ini sungguh menyayat hati: di satu sisi, santri-santri yang seharusnya fokus pada kitab kuning dan pelajaran umum dipaksa menjadi kuli bangunan tanpa standar keselamatan minimum; di sisi lain, pemimpin spiritual mereka menikmati aset yang luar biasa mahal. Fakta ini adalah bukti nyata dari prioritas yang bengkok, sebuah kegagalan akut dalam pertanggungjawaban dana umat. Dana yang seharusnya dialokasikan untuk membangun gedung yang kokoh, membayar arsitek dan kontraktor profesional, serta memastikan fasilitas yang aman bagi para santri, justru seolah “menguap” menjadi kemewahan pribadi yang mencolok.
Kasus ini jelas menunjukkan hilangnya logika dan etika yang seharusnya menjadi pilar utama lembaga pendidikan. Pondok pesantren, sebagai institusi yang dipercaya orang tua untuk mendidik anak, memiliki tanggung jawab penuh atas keselamatan dan kesejahteraan setiap santri. Bagaimana mungkin sebuah institusi pendidikan mempercayakan pembangunan gedung multi-lantai yang kompleks kepada santri yang notabenenya adalah pelajar? Menggunakan dalih “berkah” atau “kemandirian” agar santri terlibat dalam pembangunan adalah bentuk eksploitasi halus yang tidak dapat ditoleransi. Sekalipun niatnya adalah berhemat atau mendapatkan ‘berkah’ dari bangunan yang didirikan secara swadaya, keselamatan jiwa tidak bisa dinegosiasikan dengan alasan apapun. Bangunan yang merenggut puluhan nyawa adalah hasil dari abainya pertimbangan teknis dan standar keamanan yang wajib dipatuhi. Pondok pesantren, sebagai lembaga resmi di bawah pengawasan Kementerian Agama, tunduk pada hukum negara, termasuk aturan keselamatan konstruksi. Santri adalah pelajar, bukan tenaga kerja murah atau kuli yang siap mempertaruhkan nyawa demi efisiensi biaya. Kelalaian ini harus disikapi sebagai tindakan pidana, bukan hanya sebagai ‘musibah’ yang harus diterima dengan ikhlas.
Agama, iman, atau “rida” tidak seharusnya menghapus hak-hak dasar manusia, seperti hak atas kompensasi, hak atas keadilan, dan hak atas keselamatan. Pemimpin agama yang bijak akan memastikan tanggung jawab duniawi diselesaikan dengan tuntas, bukan malah menggantinya dengan dalih pahala akhirat, apalagi jika kelalaiannya merenggut puluhan nyawa. Tragedi ini memaksa kita untuk kembali ke prinsip dasar beragama: iman harus berjalan beriringan dengan akal (logika) dan sains (realita). Agama seharusnya memuliakan manusia dan melindungi nyawanya, bukan sebaliknya, membiarkan eksploitasi dan bahaya terjadi atas nama ketaatan buta.
Pemerintah, melalui Kementerian Agama dan dinas terkait, tidak boleh lagi berdiam diri. Harus ada audit keselamatan konstruksi yang ketat dan rutin di semua lembaga pendidikan, tanpa terkecuali. Citra spiritual pondok pesantren tidak boleh menjadi benteng yang menghalangi pengawasan standar minimum keselamatan dan pertanggungjawaban hukum. Masyarakat dan wali santri juga harus didorong untuk beragama dengan akal sehat. Jika ada praktik yang membahayakan nyawa anak, dalih spiritual apa pun harus dikesampingkan dan ditolak tegas.
Tragedi robohnya bangunan pondok pesantren ini adalah lonceng peringatan yang memekakkan telinga. Kita harus berani memisahkan antara ajaran agama yang murni, yang penuh kasih dan logika, dengan manipulasi otoritas agama yang sarat kepentingan. Iman yang sejati tidak menuntut kita untuk mengabaikan logika demi ketaatan buta, apalagi jika ketaatan itu berujung pada hilangnya nyawa. Sudah saatnya kita hentikan praktik menjadikan agama sebagai ‘alat jualan’ untuk menutupi kelalaian dan lepas dari tanggung jawab. Mari jadikan akal sehat sebagai filter utama, karena Tuhan pun memerintahkan kita untuk berpikir. Hanya dengan begitu kita dapat memastikan bahwa lembaga pendidikan agama benar-benar menjadi tempat yang aman untuk menimba ilmu, dan bukan tempat untuk mempertaruhkan nyawa.
Oleh: Bilqis Althaf Hanin Guntoro, Mahasiswa Hukum UHB Purwokerto Semester 3
